Pemprov Sulsel Dapat WTP, Tapi Ini Catatan Yang Harus Diperbaiki
Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III BPK RI, Dede Sukarjo, diapit oleh Ketua DPRD Sulsel, Andi Rachmatika Dewi (kiri), dan Wakil Gubernur Sulsel, Hj. Fatmawati Rusdi, pada penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dalam Rapat Paripurna DPRD
PABICARA.COM, MAKASSAR – Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.
Prestasi ini menjadi capaian keempat secara berturut-turut sejak 2021, yang menunjukkan komitmen Pemprov Sulsel dalam menyusun laporan keuangan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III BPK RI, Dede Sukarjo, langsung menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tersebut dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang digelar di Gedung DPRD Sulsel, Rabu, 28 Mei 2025. Ketua DPRD Sulsel, Andi Rachmatika Dewi, dan Wakil Gubernur Sulsel, Hj. Fatmawati Rusdi, menerima laporan tersebut secara resmi.
“BPK menyimpulkan bahwa laporan keuangan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2024 telah disusun sesuai SAP, mengungkap informasi secara memadai, mematuhi peraturan perundang-undangan, dan menerapkan sistem pengendalian intern secara efektif,” kata Dede Sukarjo.
Ia menambahkan, “Berdasarkan kesimpulan tersebut, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).”
Namun demikian, BPK tetap memberikan sejumlah catatan penting yang harus menjadi perhatian serius Pemprov Sulsel.
BPK menyoroti adanya utang belanja dan transfer, termasuk utang bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota. Utang ini muncul karena Pemprov Sulsel belum menyalurkan hak pendapatan pajak daerah kepada kabupaten/kota, yang menyebabkan pemerintah daerah belum bisa membiayai berbagai kegiatan masyarakat.
“Kami menekankan agar Pemprov Sulsel segera menyelesaikan utang bagi hasil kepada kabupaten/kota karena keterlambatan ini berdampak langsung terhadap pelaksanaan program di daerah,” ujar Dede.
Ia juga menyampaikan bahwa kondisi kas dan posisi utang menunjukkan Pemprov Sulsel belum sepenuhnya mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
“Pemprov harus menjadikan catatan-catatan ini sebagai fokus perbaikan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah,” tegasnya.
Dalam pemeriksaan lainnya, BPK menemukan permasalahan dalam pengadaan barang, khususnya pada pengadaan smart board di Dinas Pendidikan Sulsel. Meski pengadaan tersebut sudah mengikuti prosedur, perangkat belum dimanfaatkan secara optimal.
“Kami menemukan aplikasi perangkat tidak sesuai spesifikasi sejak awal, sehingga penggunaannya menjadi tidak maksimal. Ini mencerminkan inefisiensi,” ujar Dede.
BPK juga menyoroti pelaksanaan anggaran lintas tahun yang dilakukan tanpa prosedur resmi. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi otorisasi dalam APBD dan memunculkan belanja tidak terencana sebesar Rp32 miliar.
“Ada kegiatan yang dijalankan tanpa dukungan perencanaan yang sah, dan ini jelas melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ungkapnya.
Selain itu, BPK mencatat bahwa pengelolaan BLUD SMK belum sesuai ketentuan karena Pemprov Sulsel tidak menyajikan pendapatan dan belanja unit usaha BLUD dalam laporan keuangan.
“Akibatnya, laporan keuangan tidak mencantumkan kas, pendapatan, dan belanja BLUD secara transparan,” jelas Dede.
Tak hanya itu, BPK juga mengangkat masalah bantuan iuran BPJS Kesehatan bagi masyarakat miskin yang belum tersalurkan.
“Dinas Kesehatan belum menyalurkan dana sharing iuran BPJS karena masih menunggu proses verifikasi dan validasi jumlah peserta,” tutupnya.