Ketidakpastian Hukum Biaya Perkara Pengadilan PHI

Ketidakpastian Hukum Biaya Perkara Pengadilan PHI

Makassar, Pasal 97 Humas Mahkamah Konstitusi mengatur tentang biaya perkara yang diatur dalam Pasal 58 RHS. Hal ini tentu saja penting untuk memastikan bahwa keputusan Pengadilan Pasar Tenaga Kerja memberikan kepastian dalam proses persidangan. biaya yang harus dibayar oleh para pihak. Demikian disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar selaku ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004 (UU PPHI) pada Rabu (24 Januari 2024). ) dalam sidang umum MK.


Timboel juga menegaskan, biaya yang dikeluarkan para pihak merupakan hal yang wajar untuk menunjang berjalannya proses di Pengadilan Tenaga Kerja dan Mahkamah Agung. Namun, saat ini terdapat ketidakpastian mengenai penerapan case based charge.


“Putusan pengadilan yang menimbulkan biaya bantuan hukum bagi penggugat dan merupakan biaya tambahan, biasanya penggugat harus proaktif dalam mengajukan permohonan, bukan inisiatif pengadilan. Putusan pengadilan yang membebankan biaya hukum kepada para pihak harus dilaksanakan sesuai putusan dan secara transparan. Apabila biaya perkara ditanggung oleh penggugat atau tergugat, maka pembayaran biaya-biaya tersebut bersifat pasti. “Biaya perkara merupakan bagian dari pendapatan negara bebas pajak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bebas Pajak yang berlaku pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang bertindak atas dasar itu. ” , jelasnya. Timboel di hakim.


 


PP No. Berdasarkan Pasal 53 Tahun 2008, pengadilan wajib memungut biaya perkara yang ditetapkan pengadilan. Jika tidak dipungut, dianggap korupsi uang negara.


Menurut Timboel, revisi pasal 97 UU PPHI berdasarkan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan hal teknis terkait tugas pengadilan dalam menegakkan PP Nr. 53 Tahun 2008


 


Batas waktu upaya pemecatan


Dalam persidangan, Timboel juga menjelaskan UU No. 2003 13 tentang hubungan kerja (UU Ketenagakerjaan) dan UU TU merupakan undang-undang yang mengatur tentang hak dan kewajiban pekerja/pegawai dalam kaitannya dengan hukum materiil dan prosedural yang berkaitan dengan hubungan kerja. Ketentuan tersebut harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh.


“Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan hukum yang tidak memberikan hak konstitusional tersebut kepada pekerja/buruh. Salah satunya adalah Pasal 82 UU PPHI,” jelasnya.


Timboel juga mengatakan bahwa UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) bersama UU No. 6/2023 memperbarui beberapa pasal UU Ketenagakerjaan. Beberapa ketentuan yang dihilangkan dari UU Cipta Kerja antara lain, misalnya. Pasal 158, Pasal 159, Pasal 171, dan Pasal 162. Sementara ketentuan pada Pasal 160 ayat 3 tidak mengalami perubahan.


“Meskipun pasal 158 dicabut, pasal ini diberlakukan kembali melalui pasal 154A(1)(g) Undang-Undang Cipta Kerja. Demikian pula, pasal 162, yang dihilangkan dari Undang-Undang Cipta Kerja, tetap berlaku. Pasal 154A(1)(I ). ) UU Cipta Kerja 36 Tahun 2021 I PP Nomor 35 ayat satu,” tegasnya.


Namun, lanjutnya, pasal 159 dan 171 yang dihapus dari UU Cipta Kerja (Pasal Bersama 81 UU No. 6 Tahun 2023 Lampiran) tidak lagi diatur dalam UU Cipta Kerja atau PP No. 35 Tahun 2021, dengan demikian ketentuan “gugatan dapat diajukan kepada badan penyelesaian perselisihan pasar kerja dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berakhirnya hubungan kerja” tidak mempunyai dasar hukum lagi.


Menurut Timboel, Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, pekerja/buruh mempunyai hak, kepentingan dan kepastian hukum untuk mengajukan tuntutan melalui proses penyelesaian. perselisihan pasar tenaga kerja..