Mengharap Kepatuhan Di Balik Ketidakpatuhan
Oleh: Hadi Daeng Mapuna
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)
Dalam dunia Pendidikan, ada satu pepatah yang cukup populer, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Pepatah ini mengandung pesan bahwa perilaku buruk yang dilakukan oleh yang memiliki kekuasaan akan diikuti oleh bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dengan perilaku yang lebih buruk lagi.
Pepatah lama tersebut tampaknya cukup relevan dengan situasi dan kondisi politik jelang Pemilu (Pemilihan Umum) khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) saat ini. Jauh hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengkampanyekan sikap netralitas dalam Pemilu. ASN, TNI, Polri, dan BIN diminta untuk netral dalam Pemilu. TNI dan Polri diinstruksikan agar di dalam menjalankan tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, harus netral. Tidak boleh memihak apalagi mengarahkan masyarakat untuk memilih pasangan calon (paslon) tertentu.
Sampai di sini, kampanye netralitas aparat pemerintahan, aparat keamanan dan seluruh ASN, adalah sesuatu yang sangat menggembirakan. Sikap netral dari seluruh aparat adalah sebuah keniscayaan yang memungkinkan terlaksananya Pemilu yang Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil). Pemilu yang Luber dan Jurdil, akan melahirkan pemimpin yang berkualitas. Di sisi lain, Pemilu Luber dan Jurdil akan menciptakan suasana yang kondusif, tenang dan aman, tanpa ancaman perpecahan dan kekecewaan. Yang kalah akan legowo dan yang menang akan percaya diri di dalam menjalankan amanah dari rakyat. Dia akan menjalankan komitmen-komitmen dan janji-janjinya demi memenuhi harapan rakyat.
Dari Cawe-Cawe hingga Kampanye
Jika dicermati lebih jauh, sebetulnya Pemilu Presiden 2024 sudah ternoda sejak awal oleh sikap dan tindak tanduk Presiden Jokowi. Harapan terlaksananya Pemilu yang Luber dan Jurdil tampaknya sulit diwujudkan. Betapa tidak, Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, jauh-jauh hari sudah menyatakan dia akan cawe-cawe (baca: campur tangan) di dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Hal itu dikatakannya saat bertemu dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Kepresidenan, 29 Mei 2023 lalu.
Sebetulnya, cawe-cawe Presiden Jokowi di dalam Pemilu, jika dimaksudkan demi terselenggaranya Pemilu secara demokratis, jujur dan adil, adalah sah-sah saja. Beliau adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang secara otomatis bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu sebagaimana dimaksud di atas. Beliau harus memastikan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan seluruh jajaran pelaksana Pemilu, bekerja secara professional sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Ini adalah kewajiban seorang presiden sebagai penanggung jawab dalam Pemilu. Justeru kalau tidak cawe-cawe atau tidak peduli dengan Pemilu, maka dia dianggap tidak bertanggung jawab.
Namun sayang sungguh sayang, cawe-cawe Presiden Jokowi bukan sekedar memastikan Pemilu berjalan dengan lancar, aman, jujur dan adil, melainkan membawa misi pribadi mengantarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, ikut dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden. Padahal putra sulungnya tersebut belum memenuhi syarat dari segi umur untuk dimajukan sebagai calon wakil presiden. Akan tetapi, bagi Jokowi, semua bisa di atur. Apalagi Ketua MK adalah saudara iparnya.
Tidak hanya sampai di situ. Setelah Gibran berhasil didaftar di KPU sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, Jokowi selanjutnya menyatakan presiden boleh berkampanye dan boleh memihak. Hal itu dikatakannya saat memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, 24 Januari 2024 lalu. Jokowi bersikap seperti itu dengan alasan bahwa presiden adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Beri Contoh Tidak Patuh
Secara akal sehat, setiap kali Presiden Jokowi menyeru ASN, TNI dan Polri agar bersikap netral, tentu yang diharapkan adalah kepatuhan. Seluruh ASN, TNI, Polri dan BIN, harus betul-betul patuh pada perintah presiden. Yang berani melanggar akan dijerat hukum yang biasanya didahului dengan intimidasi, tekanan atau bahkan kekerasan fisik.
Namun, lagi-lagi sayang sungguh sayang. Harapan Presiden Jokowi agar titahnya dipatuhi menjadi dilematis bagi pihak-pihak yang diberi perintah. Para ASN, TNI, Polri, KPU, BAWASLU, BIN dan seluruh jajaran penyelenggara Pemilu tentu akan berfikir, mengapa harus netral sementara pimpinan tertinggi, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, justeru memberi contoh tidak patuh terhadap apa yang dia instruksikan. Apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dia praktekkan. Kata dan perbuatan tidak seiring sejalan, Sungguh sebuah ironi. Berharap kepatuhan di balik ketidakpatuhan. Wallahu a’lam.[*]